Sore hari di Ruang Rindu pukul 17.15
Teruntuk Jingga,
“Kuputuskan untuk mengirim surat kedua ini untuk-nya, tolong jangan beritahu siapa pengirimnya”
Belum sempat aku mendengar jawaban dari Jingga, langsung kuputuskan telfon itu.
Awalnya ku ragu. Tetapi, kurasa aku harus mengirimkan surat ini sebelum sampai disurat terakhir.
———————————-///————————————-
-Jingga-
“Kuputuskan untuk mengirim surat kedua ini untuk-nya, tolong jangan beritahu siapa pengirimnya”
Belum sempat aku menjawab, telfon terputus. Padahal aku ingin meyakinkan dia sekali lagi tentang surat kedua ini. Aku kehilangan kontaknya beberapa hari lalu setelah percakapan tentang surat kedua ini. Tetapi tiba-tiba saja dia menelfon ke rumahku dan menyampaikan pesan itu.
Entahlah, yang jelas aku harus membaca isi surat ini terlebih dulu sebelum ku sampaikan kepada Kumbang. Karena aku tahu.. Daisy ragu tentang ini..
Untuk Kumbang,
Sebentar biarkan ku menarik nafas terlebih dulu sebelum aku menuliskan sesuatu dari kata-kata yang paling dalam.
Baiklah aku sudah siap.
Lama waktuku kian berjalan,
Aku terus tumbuh menjadi bunga Daisy yang siap mekar,
tetapi belum mekar.
Setiap bunga memiliki waktu mekar yang berbeda,
pun diriku.
Dalam masa itu aku seolah bertanya akan keberadaanmu,
Dalam semak-semak ku mengusainya,
Dalam daun yang jatuh ku menerawang,
Dalam embun pagi ku menghela,
dan dalam rintik hujan ku berdoa.
Aku ingin sesuatu yang tidak disengaja itu terjadi,
tetapi sepertinya aku seperti men-sengajakan sesuatu itu
sehingga Tuhan tidak merestui.
Burung Melampitta berkata bahwa menjaga hati makhluk lain itu sulit,
tetapi nuraniku merasa,
alangkah lebih sulit untuk menjaga hati sendiri.
Tidak, Aku tidak sedang membicarakan hati,
itu bukan topik dari perbincangan ini.
Setidaknya bukan topik utama.
Sebenarnya banyak sekali yang ingin aku utarakan,
apa daya aku hanya bisa mengibaratkan..
Ada sesuatu yang ingin aku tulis,
tetapi aku bahkan tidak sanggup untuk menguntainya menjadi rangkaian kata.
Kumbang,
surat ini sudah lama ku simpan dilemari kayu.
Hanya saja belum tersampaikan.
Kertasnya sudah mulai menguning,
tapi tulisannya masih tetap terbaca.
Aku selalu ingat untuk mengirimnya,
tetapi aku lebih memilih untuk menahannya,
demi sebuah alasan tertentu.
Dan dari cerita seorang teman, aku sedikit tau sesuatu.
Dia yang memberitahuku untuk pertama kalinya
tentang kejadian disebuah gedung.
Dia yang menjawab pertanyaan konyolku dengan serius
disaat aku benar-benar bergurau.
Dia yang menyadarkanku bahwa seseorang itu ada.
Dan karna dia,
akhirnya ku putuskan untuk mengirim surat
lewat amplop coklat ini.
Dia adalah..
Jingga.
Kurasa surat kedua ini cukup. Aku tidak ingin berlarut – larut dalam menulis surat ini.
Toh hanya angin yang membaca,
tak bermakna,
picisan.
Lagi – lagi,
semoga kau tidak mengenaliku.
Sampai Ridho-Nya yang menggerakkanmu untuk bertemu denganku.
Kumbang,
Aku hanya bunga biasa yang tak mampu berkata,
bersuara, bahkan berteriak.
Tetapi aku dapat menari tanpa harmony
didalam keheningan malam
lewat lincahnya aksara – aksara yang kubuat.